TUGAS 12 ILMU BUDAYA DASAR
DYAH ALIA FAHRANA FILDZAHANI
1TB03
22316228
LEBARAN :
FENOMENA KEBUDAYAAN NUSANTARA DI INDONESIA
Gemerlap
Dalam Lebaran
Dibelahan bumi ini, mungkin tak ada yang dapat menyamai keriuhan perayaan tradisi sebuah bangsa sebagaimana yang diperlihatkan oleh perayaan Lebaran. Sebuah pagelaran akbar dihelat begitu riuhnya yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dan menelan biaya besar yang tak dapat disentuh oleh hukum-hukum ekonomi. Justru yang terjadi even akbar ini menjadi bidikan pelaku-pelaku ekonomi lintas latar belakang untuk dapat meraup untung besar. Keunikan dan sangat spesifik nusantara dapat dirasakan pada hari-hari sebelumnya. Tatkala masyarakat mulai menghitung hari kapan lebaran tiba dan bagaimana mempersiapkannya.
Aneka jajanan, mulai dari yang khas tradisional buatan sendiri sampai jajanan kemasan fabrikasi, mengisi daftar utama yang harus disediakan di setiap rumah tanpa kecuali. Bahan-bahan makanan untuk konsumsi keluarga dan jajanan untuk suguhan mulai dipersiapkan sedini mungkin. Seringkali jenis makanan tertentu hanya kita jumpai pada masa Lebaran saja. Pakaian baru juga identik dengan Lebaran. Baju baru tidak hanya kebutuhan anak-anak saja, namun orang-orang dewasa juga sibuk menyiapkan. Tak heran jika kios pasar penjual pakaian, toko-toko busana, mall hingga butik ramai diserbu pembeli. Kerumunan manusia berjubel memilih dan memilah pakaian yang dirasa pantas untuk dipakai pada hari kemenangan nanti. Tentunya yang terbaik menurut selera. Bagi yang menginginkan model khusus atau ukuran yang paling pas dan belum tentu ada di pasaran, mereka membeli bahan kain dan menjahitkan pada tukang jahit kepercayaannya. Rumah-rumah dibersihkan dan dicat ulang agar terlihat indah menyambut Lebaran. Interiornya ditata ulang bahkan kalau perlu perabotan baru mesti disediakan.
Kenyataan ini pula yang membuat para pelaku niaga membidik momen besar Lebaran sebagai sasaran menawarkan produk dagangannya. Mereka (kaum produsen barang dan jasa) seperti berlomba menawarkan dagangannya sebagai pelengkap demi sempurnanya menyambut Lebaran. Pasar, pusat pertokoan hingga mall turut serta dalam perayaan ini dengan mempercantik outlet-outletnya penuh dengan ikon-ikon lebaran. Bukanlah hal yang mengherankan jika pada hari-hari seperti ini omset penjualan barang-barang apa saja atau jasa meningkat dan berlipat-lipat dibanding hari biasa.
Media televisi tak mau ketinggalan. Tayangan-tayangan yang dipertontonkan pun yang berkaitan dengan hari raya dan telah dimulai dari bulan Ramadhan. Iklan-iklan yang muncul mulai dari makanan dan minuman, pakaian, perabotan rumah tangga, mainan anak-anak hingga kosmetika dihubung-hubungkan dengan nuansa Lebaran. Artis-artis yang semula terbuka mempertontonkan keindahan bagian tubuhnya kini harus memakai topeng beraroma religius. Badannya dibalut dengan busana khas muslim dengan rajutan bordir dan mengenakan jilbab yang akhirnya menjadi trend dan banyak ditiru pemirsa. Ustad-ustad permanen atau dadakan turut panen job dengan acara-acara pengajian di TV bahkan dalam acara komedi yang dilucu-lucukan bersama artis komedian yang dipaksakan.
Pada hari-hari menjelang lebaran tiba, gelap malam nusantara dihiasi oleh keindahan pijar-pijar kembang api aneka jenis dan gelegar bunyi petasan. Sampai-sampai aparat keamanan mesti turun tangan membuat pelarangan peredaran petasan demi keamanan dan kenyamanan. Tingkat penyambutan lebaran dianggap sudah berada pada tahap berlebihan sehingga dapat membahayakan orang banyak. Pada malam puncaknya, iring-iringan masyarakat membuat karnaval yang diberi istilah Takbir Keliling. Mereka berputar-putar keliling kota menggunakan mobil-mobil bak terbuka. Bagi anak-anak cukup keliling kampung membawa obor dan membawa alat bunyi-bunyian. Semuanya penuh kegembiraan. Para ibu-ibu atau wanita menjalani kesibukan di dapur merupakan keasyikan tersendiri. Mereka meramu masakan untuk dinikmati pada lebaran nanti. Inilah masakan terlezat yang pernah dibuat sekali dalam setahun.
Kesibukan menghadapi ‘hari penting’ ini menyentuh segala aspek. Pemerintah harus membuat kebijakan sebaik mungkin demi sempurnanya Lebaran. Ini adalah hari penting yang ditunggu semua lapisan masyarakat, dan merupakan hari libur panjang. Pengamanan ditingkatkan di setiap titik-titik keramaian dengan penjagaan dan pengawasan petugas keamanan. Bank Indonesia harus menyediakan cadangan keuangan dalam jumlah yang besar, karena sudah dapat dipastikan pada hari-hari seperti ini jumlah transaksi mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Petugas pos bekerja ekstra keras agar segala kiriman via jasa pos berupa kartu ucapan, parsel atau kiriman paket-paket yang lain harus tuntas dan sampai ke tangan penerima sebelum hari raya. Perusahaan lain milik negara semacam Telkom harus menjamin kelancaran komunikasi jarak jauh, PLN harus menjamin tak ada gangguan pemadaman listrik, atau Pertamina harus menjamin stok BBM dalam kondisi cukup.
Fenomena dalam Lebaran
Momen besar setahun sekali itu oleh masyarakat Nusantara disebut Lebaran. Masyarakat Jawa menyebutnya Bakda (Bada) yang berarti setelah atau sesudah. Yang dimaksud adalah hari sesudah atau setelah bulan Ramadhan. Masyarakat Jawa yang lain mengistilahkan Riraya (Riyaya) yang berasal dari kata Hari Raya. Lebaran memang tak dapat dipisahkan begitu saja dengan Ramadhan. Dapat dikatakan Lebaran merupakan grand final atas segala ritus yang telah dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara pada bulan Ramadhan. Antropolog Andre Moller menyebut Lebaran merupakan puncak dari himpunan ritus-ritus yang menyertainya sejak menjelang bulan Ramadhan.
Lebaran memang satu nafas dengan Hari Raya Idul
Fitri yang merupakan hari besar yang dicanangkan bagi penganut Islam di seluruh
dunia. Namun dalam bentuk perayaannya, Lebaran (Nusantara) sangat berbeda
dengan penyambutan Idul Fitri di belahan dunia lain termasuk akar beradanya
agama Islam yaitu di tanah Arab. Perayaan Lebaran di nusantara benar-benar unik
dan tak berlebihan jika dikatakan sebagai khas nusantara atau tidak dimiliki
oleh bangsa lain.
Fenomena perayaan Lebaran dapat dilihat dari kebiasaan yang dilakukan orang-orang berurbanisasi ke kota besar dalam rangka mengais rejeki. Saat yang dirasa tepat untuk menumpahkan kerinduan terhadap kampung halaman adalah saat Lebaran tiba. Makin banyaknya kaum urban ini berada di kota besar dan memiliki perasaan yang sama terhadap Lebaran, maka kepulangan mereka menjadi massal dan terbentuklah adegan luar biasa dan kolosal di jalan raya negeri. Peristiwa ini populer disebut Mudik. Masyarakat kota besar terutama Jakarta menyebut kampung dengan istilah udik sehingga kepulangan orang-orang pendatang yang menghuni kota ke kampung halamannya disebut ‘mudik’. Tampaknya ada beberapa unsur pokok dalam Lebaran yakni : Agama, Tempat dan Sosial.
Fenomena perayaan Lebaran dapat dilihat dari kebiasaan yang dilakukan orang-orang berurbanisasi ke kota besar dalam rangka mengais rejeki. Saat yang dirasa tepat untuk menumpahkan kerinduan terhadap kampung halaman adalah saat Lebaran tiba. Makin banyaknya kaum urban ini berada di kota besar dan memiliki perasaan yang sama terhadap Lebaran, maka kepulangan mereka menjadi massal dan terbentuklah adegan luar biasa dan kolosal di jalan raya negeri. Peristiwa ini populer disebut Mudik. Masyarakat kota besar terutama Jakarta menyebut kampung dengan istilah udik sehingga kepulangan orang-orang pendatang yang menghuni kota ke kampung halamannya disebut ‘mudik’. Tampaknya ada beberapa unsur pokok dalam Lebaran yakni : Agama, Tempat dan Sosial.
Lebaran atau Idul Fitri sangat jelas sebagai hari besar yang dicanangkan umat beragama, dalam hal ini Islam. Ada ritus-ritus khusus yang mesti dijalani pada hari tersebut, Shalat Id misalnya. Pada tataran kebudayaan nusantara, shalat id berlangsung sangat fenomenal. Masjid-masjid, lapangan dan tempat-tempat terbuka lainnya penuh sesak oleh lautan manusia yang turut serta berjamaah. Membayangkan melihat upacara ini dari ketinggian laksana menyaksikan pagelaran teatrikal kolosal. Walaupun dalam ketentuan agama, shalat id hukumnya sunnah, namun ibadah ini dianggap sebagai upacara pertaubatan penting artinya serasa tertebuslah sudah dosa-dosa selama satu tahun.
Proses mudik juga berkaitan dengan tempat, yakni
kampung halaman dimana tempat tersebut menjadi bagian penting perjalanan
sejarah hidupnya. Di kampung halaman ini biasanya masih terdapat sanak keluarga
yang masih bertahan mendiami tanah keluarga serta terdapat tempat yang sifatnya
keramat, yaitu tempat beradanya makam para leluhur atau keluarga. Mengunjungi
makam-makam leluhur dan keluarga (ziarah) dianggap sebagai sesuatu yang harus
dilakukan sebagai pengingat roda sejarah kehidupan. Dapat dijumpai dibeberapa
tempat, dimana area makam menjadi ramai dikunjungi orang terutama pada saat-saat
menjelang Lebaran.
Yang tak kalah penting adalah kaitan sosial dalam berlebaran. Pulang ‘mudik’ ternyata tak hanya mengunjungi tanah kelahiran saja melainkan ada ikatan-ikatan sosial yang tertinggal. Mereka pulang karena ada sanak saudara, handai taulan, tetangga dan sahabat-sahabat. Ini bisa terlihat pada beberapa orang yang sudah tidak lagi memiliki sanak kerabat di tanah kelahirannya, maka kemungkinan besar tidak turut serta dalam acara mudik. Makna yang tersirat dalam hal ini adalah bagaimana jalinan sosial yang terdekat (keluarga) dan pihak lain (tetangga, sahabat) menjadi sangat penting, dan dengan pemahamannya diharapkan hubungan atau identitas sosial semakin terkuatkan.
Hikmah dalam Lebaran
Yang tak kalah penting adalah kaitan sosial dalam berlebaran. Pulang ‘mudik’ ternyata tak hanya mengunjungi tanah kelahiran saja melainkan ada ikatan-ikatan sosial yang tertinggal. Mereka pulang karena ada sanak saudara, handai taulan, tetangga dan sahabat-sahabat. Ini bisa terlihat pada beberapa orang yang sudah tidak lagi memiliki sanak kerabat di tanah kelahirannya, maka kemungkinan besar tidak turut serta dalam acara mudik. Makna yang tersirat dalam hal ini adalah bagaimana jalinan sosial yang terdekat (keluarga) dan pihak lain (tetangga, sahabat) menjadi sangat penting, dan dengan pemahamannya diharapkan hubungan atau identitas sosial semakin terkuatkan.
Hikmah dalam Lebaran
Budaya, dimanapun tempatnya jelas memiliki nilai dan juga memiliki norma-norma. Tetapi norma dimaksud tidaklah bersifat statis namun tumbuh berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan ruang, masa dan konteks tujuan. Kebudayaan bukan tidak ada yang merencanakan atau merancangnya demi pemahaman terhadap suatu peristiwa, tetapi budaya selalu tumbuh dan terjadi. Dengan kata lain, budaya bukan didesain oleh seseorang melainkan dihidupkan oleh banyak orang atau suatu komunitas.
Dalam Lebaran dimana muatan yang melekat dalam agendanya adalah bersilaturahmi dan saling maaf- memaafkan, maka terselip makna yang dalam yaitu : yang jauh didekatkan, yang terputus disambung, yang terpisah dipertemukan, yang rusak diperbaiki, yang berbeda diharmoniskan.
Memandang implementasi masyarakat dalam berLebaran yang sedemikian rupa, tak urung terdapati pula sisi-sisi paradoksial. Tampak ada bentuk-bentuk ‘absurd’ antara kehalusan silaturahmi, maaf-memaafkan, ziarah, sujud pada orang tua, bersalaman pada sisi yang satu, dengan benturan saling berlomba-lomba unjuk aksi, penampilan, pesta dan juga bentuk-bentuk konsumerisme yang lain. Tetapi barangkali hal seperti itulah yang disebut budaya, mungkin juga fenomena tersebut merupakan gambaran sejati manusia dimana hal-hal yang bersifat paradoks bersatu. Atau memang sulit diterjemahkan terhadap dualisme yang terjadi dan telah menjadi tradisi. Antara kekhusukan ibadah dengan keriuhan suara bedug, kentongan dan petasan, antara spirit kembali jernih dengan pesta-pesta konsumtif, antara memperbanyak pemberian (amal) dengan meraup keuntungan (perdagangan).
Ironis memang, tapi barangkali saja lebaran adalah penggambaran umum dari sifat sejati kemanusiaan nusantara. Acara ‘mudik’ misalnya, secara fisik jelas melelahkan karena perjalanan yang cukup jauh, menyakitkan karena harus berdesak-desakan mengantri transportasi, mahal karena ongkos tarif angkutan bisa naik tiga kali lipat belum lagi bekal biaya yang akan dihabiskan untuk berlebaran di kampung, namun semangat dan kenikmatan yang mungkin dirasakan para pemudik tak dapat diukur dengan rumus-rumus atau perhitungan normatif.
Bisa jadi, “budaya Lebaran” adalah suatu sektor yang paling tidak jelas norma dan dogmanya, namun memuat suatu unsur penyeimbang atau yang paling menerima dan bahkan mampu mengelola kehadiran dualisme watak ekstrem manusia. Nilai spiritual dan sosial budaya pada kenyataannya memang tak bisa diukur hanya dari sisi praktis-ekonomis. Dengan demikian, persoalan pokok yang mesti disikapi adalah bukan membersihkan, memberantas atau memberangus hal-hal yang bersifat “hingar bingar” untuk digantikan dengan hal-hal yang bersifat “khusyuk syahdu”, namun lebih pada penghayatan makna Keseimbangan.
SUMBER:
This comprehensive guide is all about crate training, focusing specifically on when you are searching for Bernedoodle puppies for sale. Whether you’ve just welcomed a Bernedoodle puppy into your home or considering adopting one, the crate training process can set the tone for a harmonious and well-adjusted relationship. So, let’s dig it out. Read More: https://itsbusinessbro.com/2023/09/04/bernedoodle-puppies-for-sale-9-tips-for-crate-training-puppy/
BalasHapusThis piece delves into multiple meticulously researched and imaginative concepts for birthday surprise Idea, bound to fill your loved ones with joy. Read More: https://discgolftradingpost.com/creative-birthday-surprise-ideas-to-make-their-day-unforgettable/
BalasHapusThe military employs night vision for covert operations, allowing troops to navigate, engage enemies, and gather intelligence under the cover a few of their recent reportsof darkness.
BalasHapus