pintu masuk kawasan KAJANG DALAM |
Suku Kajang adalah suku yang terletak di desa Tanah Toa, kabupaten Bulukumba, provinsi Sulawesi selatan. Suku Kajang merupakan suku yang sampai sekarang masih melestarikan adat istiadat dan budaya leluhurnya, secara geografis masyarakat kajang dibedakan menjadi dua yaitu “Kajang Dalam” dan “Kajang Luar”.
Kawasan Adat Ammatoa Kajang sendiri berada di empat dusun yaitu Dusun Benteng, Sobbu, Pangi dan Balambina, dengan pusat pemerintahan adat berada di Dusun Benteng,. Kawasan adat inilah yang dikenal luas sebagai Kajang Dalam, meski orang Kajang sendiri menyebutnya rambang seppang, sementara wilayah pengaruh Ammatoa Kajang bagian luar kawasan disebut rambang luara.
Masyarakat Dajang Dalam adalah masyarakat yang benar-benar berpegang teguh pada budaya dan tradisi nenek moyangnya di tengah perkembangan globalisa yang pesat, seperti: tidak menggunakan alas kaki, tidak menggunakan kendaran beroda dua dan empat, dalam hal penerengan juga masih menggunakan pelita. Sedangkan masyarakat kajang luar adalah masyarakat yang telah berbaur dengan globalisasi dan merasakan dampak dari globalisasi. Bukan hanya itu bentuk rumah Suku Kajang Dalam dan Kajang Luar sangat berbeda. Di Kajang Luar dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan Kajang Dalam (kawasan ammatoa) yang menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan sebgai symbol keterbukaan.
1.Bahasa dan Kepercayaan Masyarakat Suku Kajang
Bahasa konjo adalah bahasa yang di gunakan sehari-hari untuk berkemunikasi antar sesama masyarakat kajang, seperti pada pasang atau pesan nenek moyang berikut “Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakka ko nu kamase-mase, a’mia’ ko nu kamase-mase” ,(Berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, berjalan engkau sederhana, berbicara engkau sederhana).
Agama yang di anut oleh masyarakat suku kajang adalah agama islam atau dalam bahasa konjo di sebut “SALLANG” dan tuhan yang di yakini untuk meminta adalah ALLAH atau dalam bahasa konjo di sebut “ TURIE’ A’RA’NA”. Mereka juga memimiliki sebuah filosofi salat yaitu “ je’ne talluka, sumbayang tala tappu” (wudu yang tidak perna batal, sembahyang yang tidak pernah putus).
2.Pakaian Masyarakat Suku Kajang
Pakaian yang di gunakan masyarakat Kajang Dalam adalah pakain yang warnanya harus berwarna hitam, karena warna hitam bagi masyarakat Kajang merupakan sebuah symbol dari kesederhanaan, seperti pada prinsip masyarakatnya yaitu “tallasa kamase-mase” ( hidup sederhana), mulai dari baju, sarung hitam (tope le’leng), sampai dengan penutup kepala yang di gunakan kaum laki-laki (passapu). Selain itu penggunaan alas kaki juga dilarang untuk di gunakan.
3.Mata Pencaharian Masyarakat Kajang
Masyarakat suku Kajang umumnya mereka hidup dengan bertani dan beternak. Biasanya mereka menanam padi, dan sayur-sayuran. sedangkan hewan peliharaannya kebanyakan kuda, sapi dan ayam. mereka juga menenun kain untuk dijadikan sarung hitam yang biasa di kerjakan oleh kaum wanita.
4.Sistem Kebudayaan Suku Kajang
Suku Kajang Amma Toa sangat menghormati lingkungannya, mereka memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi. masyarakatnya dilarang keras menebang kayu memburu satwa atau memungut hasil hasil hutan hal tersebut dipercayai bisa mendatangkan kutukan bagisi pelaku dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat karena dapat mengakibatkan berhentinya air mengalir dilingkungan Tana Toa Kajang. Peninggalan kebudayaan oleh para leluhur yang sangat mereka jaga dan kemudian mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah tangga berupa alat tenun “pattannungang” dan alat pertanian tradisional. Kegiatan menenun dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum perempuan harus pandai membuatsarung hitam “Tope Le’leng” dan passapu yang digunakan sehari-hari. Alat pertanian yang menjadi peninggalan leluhur mereka yaitu: bersifat tradisional misalnya parang, cangkul, linggis, dan lain-lain.
Adapun kesenian masyarakat suku Kajang yaitu:
• Tari Pabbitte passapu, yaitu tarian yang menceritakan tentang masalah-masalah yang terjadi pada persabungan ayam, yang biasa di bawakan pada proses penjemputan tamu.
• Seni Musik: menggunakan alat berupa suling atau dikenal dengan namIa “BASING”, yang biasa di bawakan pada ritual kematian yang di iringi dengan KELONG atau nyanyian.
setiap pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan adat Tana Toa akan mendapatkan sanksi berupa hukum adat. Ada beberapa hukum adat mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. hukuman paling ringan atau disebut juga cappa’ba’bala, hukuman sedang disebut tangnga ba’bala, dan hukuman paling berat di sebut cappa’ ba’bala.
Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yaitu tunu panroli (membakar linggis) dan tunu passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari pelakunya. Caranya seluruh orang yang di curigai harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa maka pemangku adat akan menggunakan tunu passau. caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan kepelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.
Tunu Panroli (bakar linggis) |
Rumah masyarakat suku Kajang terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut : Para, merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale bola (ruangan rumah) sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring (kolong rumah) sebagai tempat menenun kain atau Sarung hitam (tope le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Kajang. Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki. semua rumah warga dibangun dari bahan yang sama. Bangunan rumahnya terbuat dari kayu. sementara atapnya terbuat dari daun pohon sagu. Tidak hanya bahan, bentuk rumahnya juga sama. Bahkan model dalam rumah pun sama. Rumah Adat Kajang tidak seperti rumah pada umumnya, karena saat masuk pertama kali, yang dijumpai adalah dapur, kemudian ruang tamu. Rumah-rumah tersebut antara dapur dan ruang tamunya tidak bersekat. Ini juga merupakan simbol penghormatan dan keterbukaan pada tamu, yang berarti apapun yang dimakan oleh sang empunya rumah, maka tamu juga berhak memakannya. Dapur mereka berada di depan karena mereka menganggap dapur merupakan tempat yang selalu kotor, dan menganggap dapur adalah bagian kaki. Konon, konsep ini tidak hanya menunjukkan kesederhanaan. mereka juga menganggapnyasebagai simbol keseragaman. mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri di antara masyarakat suku Kajang. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap kebarat tertata rapi, khususnya yang berada di dusun Benteng tempat rumah Ammatoa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan.
0 komentar:
Posting Komentar