Suku Rejang
Kebudayaan merupakan salah satu sarana untuk membangun manusia
Indonesia seutuhnya, karena kebudayaan merupakan bagian atau aspek langsung
melibatkan manusia indonesia dalam menentukan sikap hidup sehari-hari yang
dapat mencerminkan identitas bangsa serta memastikan pegangan hidup bangsa
untuk tidak mudah dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang nilainya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa.
Seperti di daerah lain, di Bengkulu banyak diwarisi budaya, dan
nilai budaya itu sendiri ternyata masih merupakan faktor yang dominan dalam
kehidupan masyarakat. Adat istiadat dan norma-norma yang terkandung didalamnya
merupakan suatu pegangan dan pedoman masyarkat di dalam berinteraksi dengan
sesamnya untuk mengayomi kedamaaian hidup sehari-hari.
Unsur-unsur kebudayaan yang mengandung nilai yang luhur dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat pendukungnya, karena unsur kebudayaan
tersebut mengandung nilai-nilai yang mampu mengendalikan atau mengatur
kelangsungan hidup masyarakat dalam suasana yang aman, damai sehingga
terbentuknya suatu masyarakat yang harmonis kehidupannya. Dengan nilai-nilai
yang luhur itu pula, masyarakat mendapat suatu pegangan yang kuat dan dapat
menyeleksi unsur-unsur kebudayaan luar, sehingga unsur-unsur yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada akan tersisih dengan sendirinya.
Suku rejang adalah salah satu suku yang mendiami propinsi
Bengkulu yang telah diwarisi oleh banyak budaya dan nilai budaya. Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa tertua di Sumatera. Suku Rejang
mendominasi wilayah Kabupaten
Rejang Lebong, Kabupaten
Kepahiang, Kabupaten
Bengkulu Tengah, Kabupaten
Bengkulu Utara, dan Kabupaten Lebong.
Berdasarkan perbendaharaan kata dan dialek yang dimiliki bahasa Rejang, suku
bangsa ini dikategorikan Melayu Proto. Berikut
kebudayaan yang terdapat pada suku rejang
A.
Sistem Kekerabatan
Hubungan kekerabatan Suku Rejang adalah bilateral, Walaupun
keturunan mereka cenderung patrilineal. Adat menetapkan sesudah kawin yang
dalam bahasa rejang disebut duduk letok (menentukan tempat tinggal) ditentukan
berdasarkan asen (mufakat) oleh kedua belah pihak. Asen ini ada beberapa macam.
Bentuk kekerabatan lama adalah keluarga luas yang disebut tumbang. Antara satu
tumbang dengan tumbang tertentu masih ada hubungan petulai (saudara) dan
disebut sebagai kelompok satu ketumbai atau sukau. Beberapa ketumbai atau satu
berdiam di sebuah sadei (dusun).
B.
Sistem Sosial dan masyarakat
Masyarakat suku rejang mengenal sistem kesatuan sosial yang
bersifat teritorial genealogis yang disebut mego atau marga atau bang mego.
Kesatuan sosial ini berasal dari kelompok keturunan sutan sriduni, cikal bakal
mereka. bang mego asal ada empat, yaitu tubai, bermani, jekalang, dan selupuak.
Pada masa sekarang jumlah bang mego sudah bertambah, namun pengaruh yang asli
masih kuat, mereka yang disebut tiang empat limo dengan rajo. Pada zaman dahulu
merekalah yang menunjuk raja.
Pelapisan masayarakat rejang pada zaman dahulu diantaranya
pertama, golongan bangsawan yang terdiri dari raja-raja dan kepala marga.
Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut potai, dan yang ketiga disebut
golongan tun dawyo atau orang biasa. Golongan yang dihormati adalah para
pedito(pemimpin agama) dan labgea (dukun).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kabupaten Rejang Lebong,
aktivitas yang didasarkan pada semangat gotong royong masih tetap dilaksanakan
baik dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai hubungan kekeluargaan maupun
dalam kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu dusun atau desa. Ungkapan “tei
ne tanggung jawab besamo, ban benek, lengan sarno-samo masung” yang secara
turun temurun diwariskan dan dijiwai oleh masyarakat di Kabupaten Rejang Lebong
merupakan nilai-nilai luhur Dalam hal tolong menolong ada juga ungkapan yang
berbunyi ” kasiak mbales sayang betimbang, ade tepok tebis, ade tanjung
menyuung” yang lebih kurang terrjemahannya “kasih dibalas sayang
dipertimbangkan, ada tebing di tepi air runtuh ada tanjung menjelma” Maksud
dari kiasan ini adalah budi baik dan kasih sayang tidak akan sia-sia. Ungkapan
ini pada dasarnya menganjurkan agar anggota masyarakat selalu berbuat baik,
tolong –menolong, jangan kikir dengan harta benda dan ilmu pengetahuan.
Sebagai kelompok masyarakat yang secara historis telah ada sejak
zaman Majapahit dahulu, budaya bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan
terhadap sesuatu yang harus diputuskan untuk kepentingan bersama telah lama
dipraktekan dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Rejang Lebong. Ungkapan kio
sesudo keker abis, mbeak nyesoa kedong bilai, mbeak nyeletuk kedong malem.
Nyesoa coa ko nyesoa bae. Soa nu moi pateak indoi, nyeletuk moi pateak nangis.
Kecek nik supayo ko micik, kecek lai supayo ko metai. Mbeak ko micik sesu’ang.
Supayo ko metai ngen pupuk kaum”, yang dalam bahasa Indonesia lebih kurang
berarti “renungi secara mendalam, pikir sampai habis. Jangan menyesal
dikemudian hari, jangan menggerutu di kemudian malam. Sesalmu bukan sembarang
sesal. Sesalmu akan menimbulkan tangis, gerutumu akan menimbulkan isak. Kata
halus supaya kau resapkan, kata jelas supaya kau artikan. Jangan kau resapkan
sendiri. Supaya engkau artikan bersama-sama dengan sanak keluarga”. Ungkapan
ini merupakan anjuran agar selalu bermusyawarah dengan sanak famili dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang rumit dalam keseharian kita untuk mencari
jalan keluarnya. Ungkapan “Pat sepakat, lemo sernpurno” sebenarnya menunjukan
bahwa proses musyawarah untuk mufakat dalam masyarakat dapat saja dilakukan
tanpa harus melibatkan pimpinan formal mereka. Kehadiran pemimpin hanyalah
sebagai penyempurna dari kesepakatan yang dilakukan oleh masyarakatnya.
C.
Sistem Religi
Sebelum masuknya agama islam di Bengkulu, suku Rejang masih
memegang kepercayaan Animesme dan Dinamisme yaitu percaya kepada benda-benda
yang diyakini memiliki kekuatan mistis serta arwah roh nenek moyang. Dalam
bukunya Antonie Cabaton menyebutkan bahwa orang Rejang dalam jangka waktu
tertentu memberi persembahan berupa beras dan buah-buahan pada gunung Kaba yang
dimuliakan oleh suku Rejang.[4]
Memasuki abad ke-16 islam mulai masuk ke Bengkulu dari Banten,
terutama dari daerah Selatan, diperkirakan juga Islam masuk dari Aceh dan
Minang Kabau sedangkan untuk Daerah Rejang kemungkinan Islam masuk dari
Palembang di daerah ini Islam merupakan agama terbesar yaitu melebihi 99%.
Selai agama Islam agama Nasrani dan Katolik datang di Bengkulu senagaja
disebarkan oleh Zending Katolik. pada tahun 1916 ada dua padri Katolik
Roma, memimpin misi kurang lebih 600 jiwa.[5]
Sampai pertengahan abad ke-19 masi terdapat sisa-sisa
kepercayaan lama di daerah pedalaman, tetapi pada akhir abad ke-19 tidak
terdapat lagi penganutnya secara sempurna. Masyarakat Rejang telah menganut
Islam atau Nasrani, meskipun cara lama masi terbawa juga.[6]
D.
Adat Istiadat dan Peraturan
Pada zaman dahulu pengaturan dalam kerajaan dilakukan oleh para
pejabat negara dan puncak pimpinan terletak ditangan seorang raja. Dalam
pelaksanaan operasionalnya rajapun dibantu oleh para pembantu seperti;
penghulu, kepala kaum, datuk, patih, tuai kutai, depati, pemangku, penggawa,
gide dan pemangku muda.
Dasar dari pengaturan ini adalah peraturan-peraturan baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat, yang telah
ditetapkan berdasarkan pemufakatan para umara dan ulama serta orang-orang tua
atau tokoh-tokoh yang terpandang dalam masyarakat. Dalam pemerintahan
anjai-anjai kerajaan pat petula, segalah sesuatu mengenai ketertiban dalam
pengaturan negara sebagian sudah diatur dalam adat istiadat bangsa Rejang.
Menurut adat ini barng siapa yang melanggar adat akan dibunuh. Setelah
kedatangan para biku dari Maja pahit dan menjadi raja bangsa pajang; maka suku
Rejang di Daerah Bengkulu mendapatkan pelajaran bertanih dan peraturan baru
untuk memperbaiki dan penyempurnaan peratiran yang lama. Salah satunya adalah
Gawai Bunuh diganti Gawai Bngun, artinya barang siapa yang membuat kesalahan
besar seperti membunuh tidak lagi dibunuh tetapi diganti gawai Bangun. Gawai
Bngun artinya siapa yang membuat kesalahn besar seperti membunuh tidak lagi
dibunuh tetapi diganti dengan membayar berupa emas dan perak kepada ahli famili
si mati.[7]
Adat rejang yang masih berlaku hingga sekarang aialah:
1.
Membunuh-membangun artinnya: kalau membunuh orang hukumnnya si
pembunuh harus membayar bangun kepada famili yang mati, yaitu berupa emas dan
perak.
2.
Salah berhutang, artinya kesalahan terpikul oleh orang yang
bersalah itu sendiri.
3.
Gawai Mati atau Gwai Bunuh, seseorang yang melakukan keslahan
yang sangat besar atau yang dilarang keras oleh adat, dihukum mati atau
dibunuh.
4.
Melukai menepung, artinya memberi emas atau uang kepada oarng
yang dilukai.
5.
Selang berpulang, artinya tiap barang yang dipinjam harus
dikembalikan.
6.
Suarang berbagai, artinya harta yang diperoleh bersama harus
dibagi sama banyak.
7.
Burung puang si jlupang, artinya patah tumbuh hilang berganti;
tiap yang hilang harus ada gantinya.
8.
Kalah adat karena janji.
9.
Diberi habis saja, artinya suka sama suka.
E.
Sistem Bahasa
Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek
penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek
Rejang di Kabupaten Rejang
Lebong yang dikenal dengan dialek Rejang Curup, dialek Rejang
Bengkulu Utara, dialek Rejang Bengkulu Tengah, dan dialek Rejang yang
penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek
dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:
- Dialek
Rejang Kepahiang (mencakup wilayah Kabupaten Kepahiang)
- Dialek
Rejang Curup (mencakup wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu
Tengah, dan Kabupaten Bengkulu Utara)
- Dialek
Rejang Lebong (mencakup wilayah Kabupaten Lebong dan wilayah Kabupaten
Bengkulu Utara yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Lebong)
Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang
terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun,
meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tetapi
setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat
komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada
bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia.
Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor
geografis, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri.
F.
SistemTulis
Dalam perkembangannya selain bahasa Rejang, suku Rejang juga
menggunakan Aksara kaganga. Akasara kaganga merupakan sebuah nama kumpulan
beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra Selatan. Aksara yang termasuk
kelompok ini adalah Akasara Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain. Nama aksara
Kaganga ini merujuk pada Ketiga aksara Pertama. Yaitu ka, ga, dan nga. Istilah
kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University
of hull (Inggris) dalam buku Folk Literature of South Sumatra. Redjang
Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah
asli yang digunakan oleh masyarakat disebelah selatan adalah Surat ulu.
Aksara batak atau surat batak juga berkerabat dengan kelompok
surat Ulu akan tetapi urutannya berebda. Diperkirakan zaman dahulu diseluruh
pulau sumatra aceh diujung sampai lampung di selatan, menggunakan aksara yang
berkerabat dengan kelompok aksara kaganga (surat ulu) ini. Tetapi aceh dan
minangkabau yang dipergunakan sejak lama adalah huruf kawi.
Perbedaan antara aksara kaganga dengan jawa ialah bahwa kasara
surat ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara
jawa. Aksara ulu diperkirakan berkembang dari aksara palawa dan aksara kawi
yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.
G.
Kesenian
Kebudayaan di daerah bengkulu, masih termasuk dalam rumpun
Melayu Polenesia. Salah satu aspek penjelmaan kebudayaan ini adalah tata adat
sekapur sirih. Tata adat tersebut hingga kini masih ada terpelihara di kalngan
masyarakat bengkulu terutama suku Rejang. Banyak sekali kesenian yang ada di
miliki Suku Rejang ini diantarnya tari tarian.
Tarian sekapur sirih yang hanya ditarikan untuk tamu-tamu
kehormatan. Karena dulunya tarian ini hanya tarian persembahan bagi
tamu-tamu kerajaan yang hadir di balai bundar. Selain itu ada tarian kumbang
marak bungo. Tarian ini menggambarkan gadis yang banyak penggemarnya. Penarinya
semua memakai pakaian adat. Selain itu ada pula tari kejei yang dibawakan oleh
muda mudi suku rejang. Tari Kejei adalah satu-satunya tarian adat Rejang
Lebong,dalam membawakan tari kejei penari harus berpasangan ( laki-laki dan
perempuan ),penari harus ganjil ( 5 pasang,7 pasang, atau 9 pasang ) Gerakan
inti tari kejei ada 2 macam yaitu gerakan tetap dan gerakan peralihan* Pada
gerakan tetap penari perempuan,kedua telapak tangan menghadap kedepan setinggi
bahu d depan dada,dan setelah gerakan matah dayung memegang ujung selendang *
Pada gerakan tetap penari laki-laki,kedua telapak tangan menghadap ke depan
setinggi kepala,dan setelah gerakan peralihan ( matah dayung ),kedua telapak
tangan menghadap ke depan disamping paha. Di inspirasi oleh tarian sakral dari
Tanah Rejang, musik dan alat musik Tari Penyambutan memakai alat musik khas
tradisional Suku Rejang, yaitu gong dan kalintang, yang dari
jaman dahulu kala di pakai pada musik pengiring tarian sakral dan agung Suku
Rejang yaitu Tari Kejai. Pada umumnya dipakai irama lagu Lalan belek dan
Tebo Kabeak.
Gerakan Sembah
(Penghormatan):
1.
Sembah Tari : Tangan diangkat diatas bahu
2.
Sembah Tamu : Tangan diangkat diatas dada
3.
Penyerah Siri setengah jongkok dan setengah berdiri pada saat
berada diluar rumah
4.
Khusus busana yang menyerahkan siri ( wanita ) mengenakan
pakaian / baju kurung / renda penutup dada.
H.
arsitektur rumah adat
Seperti di desa tua lainnya di Lebong, bentuk dan ornament yang
ada di bangunan rumah-rumah penduduknya hampir sama. Ornament yang terdapat
pada rumah-rumah penduduk asli orang Rejang terdiri dari 2 (dua) kelompok.
Jenis (kelompok) pertama merupakan bangunan rumah berornamen dan memiliki seni
arsitektur bernilai tinggi yang sangat erat kaitannya dengan status social dan
keberadaan pemiliknya.
Rumah rumah serupa juga bisa ditemukan di desa Kota Donok. Pada
umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat dari bahan kayu yang berkualitas
tinggi. Rumah yang terbuat dari bahan kayu (papan) tersebut mampu bertahan
hingga ratusan tahun dan sampai sekarang masih utuh. Rumah-rumah tua itu selalu
dihiasi dengan ornament seni yang tinggi, meskipun terlihat sangat sederhana. Misalnya
di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi dengan ukiran penuh dengan
simbol-simbol flora seperti daun, bunga atau lainnya. Demikian pula di bagian
dinding rumah—terutama di bagian depan selalu dihiasi dengan ukiran dari papan,
yang kemudian ditempelkan dinding kayu (menyatu).
Ciri khas ornamen klasik dengan arsitektur bernilai seni tinggi
pada rumah orang Rejang mengisyaratkan status sosial pemiliknya. Ciri khasnya
adalah pemasangan papan pada dinding dilakukan secara berdiri, di bagian
dinding depan rumah biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran
besar. Rumah orang Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian
depan yang cukup besar (beranda) . Di samping jendela di bagian depan. Masih
ada dua jendela di sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada
semua rumah asli orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan
keluarga yang berukuran separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di
ruangan kedua itu, sebagian ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama.
Sementara dipan tempat tidur bagi yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu
sudut ruang tamu, ruang keluarga pertama dan ruang keluarga kedua.
Ciri khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan
mempunyai karakter tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang
membujur (empat persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai
temat kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya.
Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau
menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Rumah-rumah tua ini hampir semuanya dilengkapi kamar mandi di
bagian belakang lengkap dengan pancurannya beserta tempat menyimpan berbagai
alat-alat pertanian dan menggantung pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di
ruang kamar mandi yang serbaguna itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan).
Dulunya, rumah-rumah asli Rejang itu, walau papan lantainya sudah demikian
mengkilat karena selalu di-pel, sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan
alas lantainya berupa paran (tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua
dan pilihan). Paran itu juga dianyam dengan tambahan ukiran sedemikian rupa.
Rumah-rumah itu memiliki plapon yang juga terbuat dari bahan
kayu (papan) pilihan, sehingga di atasnya dimanfaatkan untuk tempat menjemur
atau mengeringkan biji kopi. Menyimpan hasil perkebunan lainnya, seperti
pisang, nangka dan buah-buahan lainnya.
Bangunan rumah asli orang Rejang memang sudah sedemikian maju
dan itu menandakan pengetahuan orang Rejang terhadap design bangunan rumah
sudah demikian tinggi. Karena, sebuah bangunan rumah mereka, sudah lengkap
dengan ruang-ruangnya. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang bermusyawarah, kamar
tidur, kamar gudang (tempat beras dan lainnya), dapur, kamar mandi (ruang kamar
mandi), ruang menyimpanan berbagai hasil pertanian dan sebagainya.
Ruangan-ruangan ini dipisahkan oleh dinding papan yang dibuat sedemikian rupa.
Oleh karena itu, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut ruang-ruang
atau kamar di dalam struktur rumah asli Rejang. Misalnya
brendo (beranda, teras rumah),
smigo (ruang utama yang letaknya paling depan sesudah bredo),
bilik (kamar tidur),
dopoa (dapur),
palai (ruang di atas plapon rumah),
ndea (tangga),
kemdan (jendela)
bang (pintu).
Untuk menyebut bilik (kamar tidur) biasanya ditambah dengan nama
siapa yang sering tidur di kamar tersebut. Misalnya kamar tidur nenek maka
disebut bilik sebei dan seterusnya. Dalam arsitektur orang Rejang sudah
mengenal model-model daun jendela dan pintu. Untuk pintu utama, biasanya selain
pintu lapisan pertama terbuat dari kayu. Kemudian pada lapisan kedua ada pintu
yang terbuat dari kaca yang dibingkai dengan kayu. Sementara untuk pintu kedua
(di dalam rumah) tidak demikian. Cukup dengan daun pintu terbuat dari papan.
Melihat seni arsitek ‘ukir’ pada dinding, pintu, jendela dan dinding-dinding
ruang rumah orang Rejang kemungkinan dipengaruhi oleh seni kaligrafi dalam
agama Islam dan aliran naturalisme. Sebab, melihat dari lika-liku ukiran,
simbol yang dilukis dan rangkaian-rangkaian ukirannya, memang demikian.
Secara khusus ragam hias rumah Rejang :
1.
Mengungkapkan makna simbolik yang ada dalam Ragam Hias;
2.
Mendeskripsikan komponen pada rumah tradisional Rejang seperti :
tiang,
tangga,
dinding,
ruang
atap;
3.
Mendeskripsikan tata cara dan upacara dalam pembuatan sebuah
rumah tradisional Rejang.Data dan informasi ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai bahan informasi budaya, seni dan teknologi guna mentransformasikan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Sistem kepercayaan, sistem nilai, pengetahuan dan aturan, serta
simbol yang dimiliki masyarakat Rejang mendasari konsepsi mengenai rumah
tradisional, mulai dari aturan pembuatan, upacara, memilih bahan, penataan
ruang sampai ke bentuk tiang; Pada Ragam Hias yang menggambarkan manusia sangat
erat kaitannya dengan kepercayaan suku Rejang yang percaya akan kekuatan roh
nenek moyang, dan bentuk mengacu pada gaya primitif yang lebih mementingkan
kepentingan sakral;
Ragam Hias tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada rumah
memperlihatkan adanya pengaruh budaya Minang dan tidak diterapkannya beberapa
motif makhluk hidup pada rumah Muara Aman, disebabkan pengaruh konteks budaya
dalam ruang waktu yang berbeda; Motif pada rumah tradisional Rejang
merupakan tanda yang mengandung makna simbolik dari adat istiadat Rejang.
0 komentar:
Posting Komentar