TUGAS 6 ILMU BUDAYA DASAR
DYAH ALIA FAHRANA FILDZAHANI
1TB03
22316228
DERITA
MINORITAS MUSLIM DISEJUMLAH NEGARA
Kaum Muslim di negeri
yang mayoritas penduduknya non-Muslim berteriak. Mereka menerima perlakuan
diskriminatif yang akut. Tidak hanya ditekan secara politik dan ekonomi, mereka
mengalami penindasan secara fisik, bahkan menghadapi genosida secara sistematis.
Anehnya, teriakan
mereka tidak mendapat perhatian yang semestinya dari dunia. Penindasan dan
pembantaian yang mereka alami seolah menjadi angin lalu. Negeri-negeri Muslim
pun tak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka. Kaum minoritas Muslim ini
harus berjuang sendiri untuk melangsungkan hidupnya di bawah kungkungan tirani
mayoritas non-Muslim.
Inilah yang terjadi di
beberapa negara di kawasan Asia. Seperti yang dialami oleh kaum Muslim Rohingya
di Myanmar. Nasib tragis dialami minoritas Rohingya yang tinggal di utara
Arakan, tepatnya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Sebuah catatan menunjukkan,
lebih dari 6.000 kaum Muslim meninggal dunia akibat kekejaman mayoritas Budha
yang didukung junta militer Myanmar.
Akibat kekejaman itu
ribuan Muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke negara yang terdekat, yakni
Bangladesh dan Malaysia, bahkan sampai di Aceh. Mereka yang tidak bisa
meninggalkan negara itu harus menerima perlakuan kejam tentara.
Secara statistik,
Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau sekitar 1,7 juta
jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa.
Menurut catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For
Muslims In Myanmar pada Mei tahun 1997, jumlah ini menurun drastis.
Sebelumnya jumlah kaum Muslim di sana sekitar 7 juta jiwa. Mereka kebanyakan
datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris,
gerakan antikolonialisasi di Myanmar berusaha menyingkirkan orang-orang dari
etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam.
Tindakan diskriminatif
itu terus berlangsung secara sistematis. Pada tahun 1978 dan 1991, pihak
militer Myanmar meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat
Islam di Arakan sehingga memicu eksodus besar-besaran kaum Rohingya ke
Bangladesh.
Junta militer Myanmar
yang dikenal sebagai State Law and Order Restoration Council (SLORC) selalu
berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk
memecah-belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah
politik dan ekonomi. Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan
anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu pada Mei 1996, karya tulis bernada
anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara
bagian Shan. Ini mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
Pada September 1996,
SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan
menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas
militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga
memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.
Sejumlah masjid
dihancurkan, al-Quran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu
terpaksa harus mengungsi. Berdasarkan catatan Myanmar Digest, pada 2005,
muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian
Rakhine (Arakan), tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.
Hasilnya, hingga saat
ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National
Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak
diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam. Mereka yang sangat
membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Budha pada kolom agama mereka.
Sejak 1982,
Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tak mengakui Muslim Rohingya sebagai
warga negara Myanmar. Pemerintah menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari
Bangladesh atau keturunannya. Ini pula yang memicu Muslim Rohingya meninggalkan
negara itu.
Kalaupun tak eksodus,
mereka seperti terpenjara di tanah kelahiran mereka. Mereka tidak bisa bebas
bepergian ke mana pun, sekalipun ke kota tetangga di negara tersebut. Junta militer
selalu meminta surat resmi. Akibat kekejian junta militer, kini lebih dari 200
ribu orang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka hidup
seadanya, sekadar menghindari kekejian di negaranya.
Menurut saya tingkat
penderitaan ini adalah 95 dan merupakan penderitaan sangat berat. Karena bisa
dibayangkan rasanya diperlakuan secara diskriminatif dan brutal di negara
kelahiran sendiri hanya karena perbedaan agama. Tidak ada organisasi
internasional yang peduli. Tiba-tiba semuanya diam membisu, tidak ada seorang
penguasa negeri Muslim pun yang berdekatan—termasuk penguasa negeri ini—yang
merespon penderitaan minoritas Muslim tersebut secara memadai.
0 komentar:
Posting Komentar