1. Fungsi peranan keluarga dalam menangani anggota keluarga yang terkena penyalahgunaan narkotika
Upaya pemberantasan narkoba sudah sering dilakukan, namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja dan dewasa, bahkan
anak – anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah
penyalahgunaan narkoba pada anak – anak adalah pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan untuk mengawasi dan mendidik anaknya agar selalu menjauhi
penyalahgunaan narkoba.
Kehadiran korban narkoba dalam keluarga sering menjadi masalah dalam keluarga itu sendiri bahkan dapat menimbulkan penderitaan. Hasil penelitian menunjukan
bahwa sebagian besar penyalahgunaan narkoba dari keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia ( broken home ). Sebaliknya, suatu keluarga yang sejahtera
yang diliputi suasana yang serasi, selaras dan seimbang, dimana anak – anak didik dapat tumbuh dan berkembang fisik, mental dan sosialnya secara optimal
merupakan benteng yang kokoh untuk mengatasi dan menanggulangi ancaman dan gangguan, termasuk penanggulangan masalah narkoba.
Pengalaman membuktikan bahwa kelompok orang tua, apabila digerakan dan diberikan pengetahuan, keterampilan, dukungan dan bantuan, bisa menjadi mitra
masyarakat yang paling aktif dalam pencegahan bahaya narkoba.
Keluarga sebagai unit kecil dalam masyarakat merupakan wadah utama dalam proses sosialisasi anak menuju kepribadian yang dewasa. Keluarga adalah benteng
utama yang dapat mencegah anak – anak dari masalah narkoba. Pencegahan penyelahgunaan narkoba seharusnya dimulai dalam keluarga. Keluarga yang sejahtera
dengan penuh kasih sayang sebetulnya sudah melaksanakan pencegahan. Anak – anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan rasa aman dengan adanya kesempatan
untuk menyatakan perasaan dan mengeluarkan pendapat serta di didik untuk mengambil keputusan yang bijaksana, kemungkinan besar tidak akan menyalahgunakan
narkoba.
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba dalam keluarga dilakukan dengan :
• Pendidikan Agama dan Akhlak
• Kasih sayang, rasa aman, bimbingan dan perhatian
• Selalu ada ketika dibutuhkan
• Mengetahui segala kebutuhan anak – anak
• Memberikan kebebasan dalam batas kemampuan anaknya denga pengawasan secara bijaksana
• Dorongan semangat untuk mencapai prestasi
• Pengawasan secara aktif dan bijaksana
Peran Orang Tua dalam Pencegahan
• Mengasuh anak dengan baik
• Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan anak – anak
• Jadikanlah contoh teladan ( role model ) yang baik
• jadilah pendidik pencegahan penyalahgunaan narkoba
• Jadilah pengawas untuk mengindarkan anak dari bahaya narkoba
• Mengajarkan bagaimana cara anak menolak narkoba
• Orang tua sebagai mitra masyarakat dan pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba
Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai berikut :
1. Fungsi biologis : Setiap manusia memiliki kebutuhan biologis, baik laki-laki maupun pria. Untuk memenuhi kebutuhan biologis tersebut
maka akan terjadi perkembangbiakan berupa keturunan.Oleh karenanya, keluarga berfungsi sebagai sarana reproduksi.
2. Fungsi pemeliharaan : Yakni fungsi dalam memberikan perlindungan bagi seluruh anggota keluarga. Salah satu alasan membentuk sebuah
keluarga adalah untuk memperoleh keterjaminan dan perlindungan baik secara fisik maupun psikologis.
3. Fungsi ekonomi : Fungsi ekonomi keluarga sangatlah penting bagi kehidupan keluarga, karena keluarga merupakan pendukung utama bagi
kelangsungan hidup keluarganya. Fungsi ekonomi keluarga terdiri dari pencarian nafkah, perencanaan dan penggunaannya.
4. Fungsi ke agamaan : Keluarga berfungsi religius artinya keluarga berkewajiban dalam memperkenalkan dan mengajak anaknya serta anggota
keluarga lainnya untuk hidup beragama sesuai keyakinan yang dianut. Oleh karenanya, orang tua hendaknya menciptakan kehidupan keluarga yang religius.
5. Fungsi sosial : Memiliki kaitan yang sangat erat dengan fungsi edukatif atau pendidikan, karena didalamnya mengandung unsur sosialisasi
dan begitu juga sebaliknya.
2. Golongan masyarakat maju dan masyarakat sederhana
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya.
Tatanan kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang dapat menjadi dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu
kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri kehidupan yang khas. Dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat, dapat digolongkan menjadi masyarakat
sederhana dan masyarakat maju.
1. Masyarakat Sederhana
Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitif) pola pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin.Kaum pria melakukan perkerjaan yang berat
seperti,menangkap ikan di laut,berburu,bertani,berternak,dan menebang pohon.Sedangkan kaum wanita pekerjaan yang ringan-ringan seperti,mengurus rumah
tangga,mengasuh anak-anak,bercocok tanam,merajut,membuat pakaian dan membersihkan rumah. Pembagian dalam bentuk lain tidak terungkap dengan jelas, sejalan
dengan pola kehidupan dan pola perekonomian masyarakat primitif atau belum sedemikian rupa seperti pada masyarakat maju.
2. Masyarakat Maju
Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelompok sosial, atau lebih akrab dengan sebutan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang
berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai. Dalam lingkungan masyarakat maju dapat dibedakan sebagai kelompok masyarakat non industri
dan masyarakat industri.
1. Masyarakat Industri
Jika pembagian kerja bertambah kompleks, suatu tanda bahwa kapasitas masyarakat semakin tinggi. Solidaritas didasarkan pada hubungan saling ketergantungan
antara kelompok-kelompok masyarakat yang telah mengenal pengkhususan. Otonomi sejenis, juga menjadi ciri dari bagian atau kelompok-kelompok masyarakat
industri. Otonomi sejenis dapat diartikan dengan kepandaian/keahlian khusus yang dimiliki seseorang secara mandiri, sampai pada batas-batas tertentu.
Contoh-contoh : tukang roti, tukang sepatu, tukang bubur, tukang las, ahli mesin, ahli listrik, tukang bakso, mereka dapat bekerja secara mandiri. Dengan
timbulnya spesialisasi fungsional, makin berkurang pula, ide-ide kolektif untuk diekspresikan dan dikerjakan bersama. Dengan demikian semakin komplek
pembagian kerja, semakin banyak tibul kepribadian individu.
Abad ke-15 sebagai pangkal tolakdari berkembang pesatnya industrialisasi, terutama didaratan Eropa. Hal tersebut telah melahirkan bentuk pembagian kerja
antara majikan dan buruh. Laju pertumbuhan industri-industri membawa konsekuensi memisahkan pekerja dengan majikan lebih nyata. Akibatnya terjadi
konflik-konflik yang tak dapat dihindari, kaum pekerja membentuk serikat-serikat kerja/serikat buruh.
Perjuangan kaum buruh semakin meningkat, terutama di perusahaan-perusahaan besar. Ketidakpuasan kaum buruh terhadap kondisi kerja dan upah semakin meluas.
Ketidakpuasan buruh menjadi bertambah, karena kaum industrialis mengganti tenaga manusia oleh mesin-mesin.
2. Masyarakat non industri
Masyarakat non industri bisa di bedakan menjadi 2 golongan yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder
1.Masyarakat Non Industri
Kita telah tahu secara garis besar bahwa , kelompok nasional atau organisasi kemasyarakatan non industri dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
kelompok primer (primary group) dan kelompok sekunder (secondary group).
(a) Kelompok primer
Dalam kelompok primer, interaksi antar anggota terjalin lebih intensif, lebih erat, lebih akrab. Di karenakan para anggota kelompok sering berdialog,
bertatap muka, sehingga mereka mengenal lebih dekat, lebih akrab.
dalam kelompok-kelompok primer bercorak kekeluargaan dan lebih berdasarkan simpati. Pembagian kerja atau pembagian tugas pada kelompok menerima serta
menjalankan tugas tidak secara paksa, lebih dititik beratkan pada kesadaran, tanggung jawabpara anggota dan berlangsung atas dasar rasasimpati dan secara
sukarela.
Contoh-contoh kelompok primer, antara lain :keluarga, rukun tetangga, kelompok belajar,kelompok agama, dan lain sebagainya.
(b) Kelompok sekunder
Antara anggota kelompok sekunder, terpaut saling hubungan tak Iangsung, formal, juga kurang bersifat kekeluargaan. Oleh karen yaitu, sifat interaksi,
pembagian kerja, pembagian kerja antaranggota kelompok di atur atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasional, obyektif.
Para anggota menerima pembagian kerja/pembagian tugas atas dasar kemampuan; keahlian tertentu, di samping dituntut dedikasi. Hal-hal semacam itu diperlukan
untuk mencapai target dan tujuan tertentu yang telah di flot dalam program-program yang telah sama-sama disepakati. Contoh-contoh kelompok sekunder,
misalnya : partai politik, perhimpunan serikat kerja/serikat buruh, organisasi profesi dan sebagainya. Berlatar belakang dari pengertian resmi dan tak
resmi, maka tumbuh dan berkembang kelompok formal (formal group) atau lebih akrab dengan sebutan kelompok resmi, dan kelompok tidak resmi (informal group).
Inti perbedaan yang terjadi adalah : Kelompok tidak resmi (informal group) tidak berstatus resmi dan tidak didukung oleh Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran
Rumah tangga (ART) seperti yang lazim berlaku pada kelompok resmi.
Namun demikian, kelompok tidak resmi juga mempunyai pembagian kerja, peranan-peranan serta hirarki tertentu, norma-norma tertentu sebagai pedoman tingkah
laku para anggota beserta konvensi-konvensinya. Tetapi hal ini tidak dirumuskan secara tegas dan tertulis seperti pada kelompok resmi (W.A. Gerungan, 1980
: 91).
Contoh : Semua kelompok sosial, perkumpulan-perkumpulan, atau organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memiliki anggota kelompok tidak resmi.
2. Masyarakat Industri
Durkheim mempergunakan variasi pembangian kerja sebagai dasar untuk mengklasifikasikan masyarakat, sesuai dengan taraf perkembangannya. Akan tetapi is
lebih cenderung mempergunakan dua taraf klasifikasi, yaitu yang sederhana dan yang kompleks. Masyarakat-masyarakat yang berada di tengah kedua eksterm tadi
diabaikannya (Soerjono Soekanto, 1982 : 190).
Jika pembagian kerja bertambah kompleks, suatu tanda bahwa kapasitas masyarakat semakintinggi. Solidaritas didasarkan pada hubungan saling ketergantungan
antara kelompok-kelompok masyarakat yang telah men2enal pengkhususan.Otonomi sejenis, juga menjadi ciri daribagian/ kelompok-kelompok masyarakat industri.
Otonomi sejenis dapat diartikan dengan kepandaian/keahlian khusus yang dimiliki seseorang secara mandiri, sampai pada batas-batas tertentu.
Contoh-contoh : tukang roti, tukang sepatu,tukang bubut, tukang las, ahli mesin, ahli listrik dan ahli dinamo, mereka dapat bekerja secara mandiri. Dengan
timbulnya spesialisasi fungsional, makin berkurang pula ide-ide kolektif untuk diekspresikan dan dikerjakan bersama. Dengan demikian semakin kompleks
pembagian kerja, semakin banyak timbul kepribadian individu. Sudah barang tentu masyarakat sebagai keseluruhan memerlukan derajat integrasi yang serasi.
Akan tetapi hanya akan sampai pada batas tertentu, sesuai dengan bertambahnya individualisme.
Penggusuran di Jakarta: Untuk Kepentingan Bisnis
Penggusuran rakyat miskin merupakan masalah yang klasik di Jakarta. Alasan yang biasa digunakan oleh Pemprov adalah demi “kepentingan umum.” Tetapi,
betulkah demikian? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Wilayah DKI Jakarta, sebuah organisasi politik
rakyat, menggelar diskusi pada 28 Oktober 2015 dengan tajuk “Penggusuran di Jakarta: Untuk Kepentingan Siapa?”
Berdasarkan data yang ada, ada tiga alasan penggusuran yang dominan. Pertama, untuk urusan perairan kota seperti waduk, kali, saluran air, dan sebagainya,
dengan alasan mengatasi banjir. Kedua, untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ketiga, untuk pengembangan jalan, baik itu pelebaran jalan maupun pembangunan jalan
baru, jalan tol atau jembatan.
Data LBH Jakarta tentang potensi penggusuran pada 2014, yang didasarkan atas analisa RAPBD, misalnya, menunjukkan bahwa dari total 131 potensi penggusuran,
35 potensi penggusuran ditujukan untuk kali, waduk, saluran air dan sejenisnya; 34 ditujukan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan 32 untuk jalan serta
jembatan. Sementara, 30 sisanya ditujukan untuk beragam hal, seperti TPU, pembangunan rumah susun, dan lain-lain.
Kemudian, berdasarkan Laporan Penggusuran Paksa di DKI Jakarta pada Januari-Agustus 2015 yang juga diterbitkan LBH Jakarta, selama 8 bulan itu, terjadi 30
kasus penggusuran paksa dengan korban 3433 KK dan 433 unit usaha. Dari 30 kasus itu, 12 kasus ditujukan untuk normalisasi wilayah perairan.[1] Adapun
berdasarkan pantauan KPRI DKI Jakarta selama September-Oktober 2015, terjadi 5 kasus penggusuran di Jakarta, dimana tiga diantaranya terkait dengan
persoalan perairan kota.
Alasan banjir dan RTH memang mudah dibuat seolah-olah untuk “kepentingan umum.” Tetapi, jika betul Pemprov berkomitmen mengatasi banjir dan membangun RTH,
kenapa mall-mall, pemukiman mewah, apartemen, dan hotel, yang dibangun di atas daerah resapan air dan mengkonversi lahan RTH menjadi tempat bisnis
cenderung dibiarkan? Kenapa kecenderungannya adalah rakyat miskin yang digusur dengan alasan tersebut?
Belum lama ini, Aktual.com pernah mengeluarkan data tentang alih fungsi RTH untuk bisnis di Jakarta.[2] Ada setidaknya 5 daerah RTH, resapan air dan
fasilitas publik, dengan total luas 3.297 hektare, yang fungsinya dialihkan untuk bisnis. Daerah itu adalah Pantai Kapuk, Sunter, Kelapa Gading, Hutan Kota
Tomang dan Hutan Kota Senayan. Di atas kelima daerah itu sudah berdiri pemukiman elit, mall, hotel, apartemen, dan sebagainya.
Inkonsistensi Pemprov ini membuat kita patut mencurigai retorika “kepentingan umum” mereka ketika melakukan penggusuran. Jangan-jangan, RTH menyempit
karena alih fungsi lahan RTH untuk bisnis, tetapi rakyat miskin yang membayar ongkosnya. “Alasannya selalu identik dengan orang miskin jadi kambing hitam
atas masalah Jakarta. Stigma terus dibangun agar dapat dukungan kelas menengah. Bahwa penggusuran wajar dan halal dilakukan,” ungkap Rio Ayudhia Putra,
Ketua KPRI DKI Jakarta.
Foto Tulisan
Lahan di Jakarta sendiri memang sudah sempit. Agar bisa terus dipakai untuk bisnis, Pemprov sebenarnya juga membuka lahan baru, seperti dengan reklamasi
Pantai Utara Jakarta. Adapun sekitar 80-90% tanah di Jakarta dikuasai pihak swasta. Para penguasa lahan ini diantaranya adalah Tomy Winata, Agung Podomoro
Group, Ciputra, Bakrie, dan Agung Sedayu Group.
Terkait banjir, mengingat inkonsistensi Pemprov, meragukan juga apakah penggusuran dengan alasan banjir itu sungguh-sungguh untuk mengatasi banjir atau
hanya dalih saja agar ada proyek konstruksi untuk pebisnis. Apalagi salah satu sumber banjir, yaitu minimnya penampungan air di daerah selatan yang tinggi,
tidak pernah diselesaikan. Penampungan untuk air yang datang dari Bogor hanya ada di Katulampa. “Sementara, di puncak malah banyak vila milik pemerintah,
artis dan politisi, padahal daerah itu bisa menjadi daerah resapan air,” tandas Rio.
Dan kalaupun ada penggusuran yang benar-benar untuk mengatasi banjir, tetap perlu dipertanyakan, apakah upaya itu untuk “kepentingan umum” seperti retorika
Pemprov, ataukah untuk kepentingan bisnis properti? Pasalnya, banjir juga bisa berpengaruh pada harga properti. Misalnya, harga rumah atau properti di
kawasan Puri Indah dan jalan Daan Mogot naik, ketika sudah tidak banjir lagi dan ada pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol.[3]
Terkait pelebaran atau pembangunan jalan, dalih yang sering dikemukakan pemerintah adalah untuk mengurangi kemacetan. Namun, sudah cukup banyak yang
membantah bahwa pertumbuhan jalan akan bisa mengurangi kemacetan. Sebaliknya, pertumbuhan jalan hanya akan memfasilitasi pertumbuhan kendaraan pribadi yang
merupakan salah satu sumber kemacetan di Jakarta.
Data BPS menyatakan, selama 2010-2014, jumlah sepeda motor meningkat dari sekitar 8,8 juta menjadi 13,1 juta dengan pertumbuhan sebesar 10,54% per tahun.
Sementara, selama tahun itu, jumlah mobil penumpang bertambah dari sekitar 2,3 juta menjadi 3,3 juta dengan pertumbuhan sebesar 8,75% per tahun.[4] Jika
pertumbuhan jalan hanya memfasilitasi pertumbuhan kendaraan pribadi, maka bukankah itu berarti bahwa pertumbuhan jalan memfasilitasi perkembangan bisnis
otomotif?
Kemudian, melihat sektor perdagangan yang Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) paling besar di Jakarta selama 2010-2014,[5] pertumbuhan jalan di Jakarta
sepertinya juga memiliki fungsi mempercepat pergerakan komoditi dari sentra produksi atau gudang ke pengecer untuk mempercepat waktu jual-beli dan
sirkulasi kapital. Singkatnya, pertumbuhan jalan di Jakarta juga berfungsi untuk memfasilitasi perkembangan sektor perdagangan.
Diskusi KPRI Jakarta menyimpulkan, pembangunan ekonomi Jakarta dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan warga, tapi untuk kepentingan bisnis. Penggusuran
rakyat miskin adalah konsekuensi dari model pembangunan yang seperti itu. “Orang miskin disingkirkan ke pinggir kota, dan dibiarkan tidak tumbuh. Tidak ada
program penguatan ekonomi pemerintah untuk mereka,” ungkap Dika Mohammad, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), sebuah organisasi
rakyat miskin.
Adapun solusi penggusuran adalah reforma agraria perkotaan, yang bisa mencakup sertifikasi tanah untuk rakyat miskin dan pembatasan kepemilikan tanah bagi
perusahaan serta orang kaya di Jakarta. Namun, untuk mewujudkan solusi seperti itu diperlukan kekuatan politik dan kekuatan massa yang besar. Selain itu,
diperlukan juga persatuan antara gerakan rakyat miskin dengan gerakan sektor lain di Jakarta, seperti buruh.
SUMBER :
http://www.prp-indonesia.org/2015/penggusuran-di-jakarta-untuk-kepentingan-bisnis
http://setodwiyulianto54.blogspot.co.id/2014/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
https://www.seputarpengetahuan.com/2015/09/9-fungsi-lembaga-keluarga-dan-penjelasannya-lengkap.html
http://citrarhmdn.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-bentuk-fungsi-peranan-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar