Minggu, 26 Maret 2017

SUKU REJANG

Suku Rejang

Kebudayaan merupakan salah satu sarana untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, karena kebudayaan merupakan bagian atau aspek langsung melibatkan manusia indonesia dalam menentukan sikap hidup sehari-hari yang dapat mencerminkan identitas bangsa serta memastikan pegangan hidup bangsa untuk tidak mudah dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang nilainya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Seperti di daerah lain, di Bengkulu banyak diwarisi budaya, dan nilai budaya itu sendiri ternyata masih merupakan faktor yang dominan dalam kehidupan masyarakat. Adat istiadat dan norma-norma yang terkandung didalamnya merupakan suatu pegangan dan pedoman masyarkat di dalam berinteraksi dengan sesamnya untuk mengayomi kedamaaian hidup sehari-hari.
Unsur-unsur kebudayaan yang mengandung nilai yang luhur dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pendukungnya, karena unsur kebudayaan tersebut mengandung nilai-nilai yang mampu mengendalikan atau mengatur kelangsungan hidup masyarakat dalam suasana yang aman, damai sehingga terbentuknya suatu masyarakat yang harmonis kehidupannya. Dengan nilai-nilai yang luhur itu pula, masyarakat mendapat suatu pegangan yang kuat dan dapat menyeleksi unsur-unsur kebudayaan luar, sehingga unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada akan tersisih dengan sendirinya.
Suku rejang adalah salah satu suku yang mendiami propinsi Bengkulu yang telah diwarisi oleh banyak budaya dan nilai budaya. Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa tertua di Sumatera. Suku Rejang mendominasi wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Lebong. Berdasarkan perbendaharaan kata dan dialek yang dimiliki bahasa Rejang, suku bangsa ini dikategorikan Melayu Proto. Berikut kebudayaan yang terdapat pada suku rejang


A.   Sistem Kekerabatan
Hubungan kekerabatan Suku Rejang adalah bilateral, Walaupun keturunan mereka cenderung patrilineal. Adat menetapkan sesudah kawin yang dalam bahasa rejang disebut duduk letok (menentukan tempat tinggal) ditentukan berdasarkan asen (mufakat) oleh kedua belah pihak. Asen ini ada beberapa macam. Bentuk kekerabatan lama adalah keluarga luas yang disebut tumbang. Antara satu tumbang dengan tumbang tertentu masih ada hubungan petulai (saudara) dan disebut sebagai kelompok satu ketumbai atau sukau. Beberapa ketumbai atau satu berdiam di sebuah sadei (dusun).

B.    Sistem Sosial dan masyarakat
Masyarakat suku rejang mengenal sistem kesatuan sosial yang bersifat teritorial genealogis yang disebut mego atau marga atau bang mego. Kesatuan sosial ini berasal dari kelompok keturunan sutan sriduni, cikal bakal mereka. bang mego asal ada empat, yaitu tubai, bermani, jekalang, dan selupuak. Pada masa sekarang jumlah bang mego sudah bertambah, namun pengaruh yang asli masih kuat, mereka yang disebut tiang empat limo dengan rajo. Pada zaman dahulu merekalah yang menunjuk raja.
Pelapisan masayarakat rejang pada zaman dahulu diantaranya pertama, golongan bangsawan yang terdiri dari raja-raja dan kepala marga. Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut potai, dan yang ketiga disebut golongan tun dawyo atau orang biasa. Golongan yang dihormati adalah para pedito(pemimpin agama) dan labgea (dukun).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kabupaten Rejang Lebong, aktivitas yang didasarkan pada semangat gotong royong masih tetap dilaksanakan baik dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai hubungan kekeluargaan maupun dalam kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu dusun atau desa. Ungkapan “tei ne tanggung jawab besamo, ban benek, lengan sarno-samo masung” yang secara turun temurun diwariskan dan dijiwai oleh masyarakat di Kabupaten Rejang Lebong merupakan nilai-nilai luhur Dalam hal tolong menolong ada juga ungkapan yang berbunyi ” kasiak mbales sayang betimbang, ade tepok tebis, ade tanjung menyuung” yang lebih kurang terrjemahannya “kasih dibalas sayang dipertimbangkan, ada tebing di tepi air runtuh ada tanjung menjelma” Maksud dari kiasan ini adalah budi baik dan kasih sayang tidak akan sia-sia. Ungkapan ini pada dasarnya menganjurkan agar anggota masyarakat selalu berbuat baik, tolong –menolong, jangan kikir dengan harta benda dan ilmu pengetahuan.
Sebagai kelompok masyarakat yang secara historis telah ada sejak zaman Majapahit dahulu, budaya bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan terhadap sesuatu yang harus diputuskan untuk kepentingan bersama telah lama dipraktekan dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Rejang Lebong. Ungkapan kio sesudo keker abis, mbeak nyesoa kedong bilai, mbeak nyeletuk kedong malem. Nyesoa coa ko nyesoa bae. Soa nu moi pateak indoi, nyeletuk moi pateak nangis. Kecek nik supayo ko micik, kecek lai supayo ko metai. Mbeak ko micik sesu’ang. Supayo ko metai ngen pupuk kaum”, yang dalam bahasa Indonesia lebih kurang berarti “renungi secara mendalam, pikir sampai habis. Jangan menyesal dikemudian hari, jangan menggerutu di kemudian malam. Sesalmu bukan sembarang sesal. Sesalmu akan menimbulkan tangis, gerutumu akan menimbulkan isak. Kata halus supaya kau resapkan, kata jelas supaya kau artikan. Jangan kau resapkan sendiri. Supaya engkau artikan bersama-sama dengan sanak keluarga”. Ungkapan ini merupakan anjuran agar selalu bermusyawarah dengan sanak famili dalam menghadapi persoalan-persoalan yang rumit dalam keseharian kita untuk mencari jalan keluarnya. Ungkapan “Pat sepakat, lemo sernpurno” sebenarnya menunjukan bahwa proses musyawarah untuk mufakat dalam masyarakat dapat saja dilakukan tanpa harus melibatkan pimpinan formal mereka. Kehadiran pemimpin hanyalah sebagai penyempurna dari kesepakatan yang dilakukan oleh masyarakatnya.

C.   Sistem Religi
Sebelum masuknya agama islam di Bengkulu, suku Rejang masih memegang kepercayaan Animesme dan Dinamisme yaitu percaya kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan mistis serta arwah roh nenek moyang. Dalam bukunya Antonie Cabaton menyebutkan bahwa orang Rejang dalam jangka waktu tertentu memberi persembahan berupa beras dan buah-buahan pada gunung Kaba yang dimuliakan oleh suku Rejang.[4]
Memasuki abad ke-16 islam mulai masuk ke Bengkulu dari Banten, terutama dari daerah Selatan, diperkirakan juga Islam masuk dari Aceh dan Minang Kabau sedangkan untuk Daerah Rejang kemungkinan Islam masuk dari Palembang di daerah ini Islam merupakan agama terbesar yaitu melebihi 99%. Selai agama Islam agama Nasrani dan Katolik datang di Bengkulu senagaja disebarkan oleh Zending Katolik.  pada tahun 1916 ada dua padri Katolik Roma, memimpin misi kurang lebih 600 jiwa.[5]
Sampai pertengahan abad ke-19 masi terdapat sisa-sisa kepercayaan lama di daerah pedalaman, tetapi pada akhir abad ke-19 tidak terdapat lagi penganutnya secara sempurna. Masyarakat Rejang telah menganut Islam atau Nasrani, meskipun cara lama masi terbawa juga.[6]

D.   Adat Istiadat dan Peraturan
Pada zaman dahulu pengaturan dalam kerajaan dilakukan oleh para pejabat negara dan puncak pimpinan terletak ditangan seorang raja. Dalam pelaksanaan operasionalnya rajapun dibantu oleh para pembantu seperti; penghulu, kepala kaum, datuk, patih, tuai kutai, depati, pemangku, penggawa, gide dan pemangku muda.
Dasar dari pengaturan ini adalah peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat, yang telah ditetapkan berdasarkan pemufakatan para umara dan ulama serta orang-orang tua atau tokoh-tokoh yang terpandang dalam masyarakat. Dalam pemerintahan anjai-anjai kerajaan pat petula, segalah sesuatu mengenai ketertiban dalam pengaturan negara sebagian sudah diatur dalam adat istiadat bangsa Rejang. Menurut adat ini barng siapa yang melanggar adat akan dibunuh. Setelah kedatangan para biku dari Maja pahit dan menjadi raja bangsa pajang; maka suku Rejang di Daerah Bengkulu mendapatkan pelajaran bertanih dan peraturan baru untuk memperbaiki dan penyempurnaan peratiran yang lama. Salah satunya adalah Gawai Bunuh diganti Gawai Bngun, artinya barang siapa yang membuat kesalahan besar seperti membunuh tidak lagi dibunuh tetapi diganti gawai Bangun. Gawai Bngun artinya siapa yang membuat kesalahn besar seperti membunuh tidak lagi dibunuh tetapi diganti dengan membayar berupa emas dan perak kepada ahli famili si mati.[7]
Adat rejang yang masih berlaku hingga sekarang aialah:
1.          Membunuh-membangun artinnya: kalau membunuh orang hukumnnya si pembunuh harus membayar bangun kepada famili yang mati, yaitu berupa emas dan perak.
2.          Salah berhutang, artinya kesalahan terpikul oleh orang yang bersalah itu sendiri.
3.          Gawai Mati atau Gwai Bunuh, seseorang yang melakukan keslahan yang sangat besar atau yang dilarang keras oleh adat, dihukum mati atau dibunuh.
4.          Melukai menepung, artinya memberi emas atau uang kepada oarng yang dilukai.
5.          Selang berpulang, artinya tiap barang yang dipinjam harus dikembalikan.
6.          Suarang berbagai, artinya harta yang diperoleh bersama harus dibagi sama banyak.
7.          Burung puang si jlupang, artinya patah tumbuh hilang berganti; tiap yang hilang harus ada gantinya.
8.          Kalah adat karena janji.
9.          Diberi habis saja, artinya suka sama suka.

E.    Sistem Bahasa

Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dengan dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara, dialek Rejang Bengkulu Tengah, dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Dialek Rejang Kepahiang (mencakup wilayah Kabupaten Kepahiang)
  2. Dialek Rejang Curup (mencakup wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten Bengkulu Utara)
  3. Dialek Rejang Lebong (mencakup wilayah Kabupaten Lebong dan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Lebong)
Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tetapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor geografis, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri.


F.    SistemTulis


Dalam perkembangannya selain bahasa Rejang, suku Rejang juga menggunakan Aksara kaganga. Akasara kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra Selatan. Aksara yang termasuk kelompok ini adalah Akasara Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain. Nama aksara Kaganga ini merujuk pada Ketiga aksara Pertama. Yaitu ka, ga, dan nga. Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of hull (Inggris) dalam buku Folk Literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat disebelah selatan adalah Surat ulu.
Aksara batak atau surat batak juga berkerabat dengan kelompok surat Ulu akan tetapi urutannya berebda. Diperkirakan zaman dahulu diseluruh pulau sumatra aceh diujung sampai lampung di selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara kaganga (surat ulu) ini. Tetapi aceh dan minangkabau yang dipergunakan sejak lama adalah huruf kawi.
Perbedaan antara aksara kaganga dengan jawa ialah bahwa kasara surat ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara jawa. Aksara ulu diperkirakan berkembang dari aksara palawa dan aksara kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.

G.   Kesenian
Kebudayaan di daerah bengkulu, masih termasuk dalam rumpun Melayu Polenesia. Salah satu aspek penjelmaan kebudayaan ini adalah tata adat sekapur sirih. Tata adat tersebut hingga kini masih ada terpelihara di kalngan masyarakat bengkulu terutama suku Rejang. Banyak sekali kesenian yang ada di miliki Suku Rejang ini diantarnya tari tarian.
Tarian sekapur sirih yang hanya ditarikan untuk tamu-tamu kehormatan. Karena dulunya tarian ini hanya tarian  persembahan bagi tamu-tamu kerajaan yang hadir di balai bundar. Selain itu ada tarian kumbang marak bungo. Tarian ini menggambarkan gadis yang banyak penggemarnya. Penarinya semua memakai pakaian adat. Selain itu ada pula tari kejei yang dibawakan oleh muda mudi suku rejang. Tari Kejei adalah satu-satunya tarian adat Rejang Lebong,dalam membawakan tari kejei penari harus berpasangan ( laki-laki dan perempuan ),penari harus ganjil ( 5 pasang,7 pasang, atau 9 pasang ) Gerakan inti tari kejei ada 2 macam yaitu gerakan tetap dan gerakan peralihan* Pada gerakan tetap penari perempuan,kedua telapak tangan menghadap kedepan setinggi bahu d depan dada,dan setelah gerakan matah dayung memegang ujung selendang * Pada gerakan tetap penari laki-laki,kedua telapak tangan menghadap ke depan setinggi kepala,dan setelah gerakan peralihan ( matah dayung ),kedua telapak tangan menghadap ke depan disamping paha. Di inspirasi oleh tarian sakral dari Tanah Rejang, musik dan alat musik Tari Penyambutan memakai alat musik khas tradisional Suku Rejang, yaitu gong dan kalintang, yang dari jaman dahulu kala di pakai pada musik pengiring tarian sakral dan agung Suku Rejang yaitu Tari Kejai. Pada umumnya dipakai irama lagu Lalan belek dan Tebo Kabeak.
Gerakan Sembah (Penghormatan):
1.          Sembah Tari : Tangan diangkat diatas bahu
2.          Sembah Tamu : Tangan diangkat diatas dada
3.          Penyerah Siri setengah jongkok dan setengah berdiri pada saat berada diluar rumah
4.          Khusus busana yang menyerahkan siri ( wanita ) mengenakan pakaian / baju kurung / renda penutup dada.


H.   arsitektur rumah adat

Seperti di desa tua lainnya di Lebong, bentuk dan ornament yang ada di bangunan rumah-rumah penduduknya hampir sama. Ornament yang terdapat pada rumah-rumah penduduk asli orang Rejang terdiri dari 2 (dua) kelompok. Jenis (kelompok) pertama merupakan bangunan rumah berornamen dan memiliki seni arsitektur bernilai tinggi yang sangat erat kaitannya dengan status social dan keberadaan pemiliknya.
Rumah rumah serupa juga bisa ditemukan di desa Kota Donok. Pada umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat dari bahan kayu yang berkualitas tinggi. Rumah yang terbuat dari bahan kayu (papan) tersebut mampu bertahan hingga ratusan tahun dan sampai sekarang masih utuh. Rumah-rumah tua itu selalu dihiasi dengan ornament seni yang tinggi, meskipun terlihat sangat sederhana. Misalnya di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi dengan ukiran penuh dengan simbol-simbol flora seperti daun, bunga atau lainnya. Demikian pula di bagian dinding rumah—terutama di bagian depan selalu dihiasi dengan ukiran dari papan, yang kemudian ditempelkan dinding kayu (menyatu).

Ciri khas ornamen klasik dengan arsitektur bernilai seni tinggi pada rumah orang Rejang mengisyaratkan status sosial pemiliknya. Ciri khasnya adalah pemasangan papan pada dinding dilakukan secara berdiri, di bagian dinding depan rumah biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran besar. Rumah orang Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian depan yang cukup besar (beranda) . Di samping jendela di bagian depan. Masih ada dua jendela di sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada semua rumah asli orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan keluarga yang berukuran separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di ruangan kedua itu, sebagian ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama. Sementara dipan tempat tidur bagi yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu sudut ruang tamu, ruang keluarga pertama dan ruang keluarga kedua.

Ciri khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan mempunyai karakter tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang membujur (empat persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai temat kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya. Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Rumah-rumah tua ini hampir semuanya dilengkapi kamar mandi di bagian belakang lengkap dengan pancurannya beserta tempat menyimpan berbagai alat-alat pertanian dan menggantung pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di ruang kamar mandi yang serbaguna itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan). Dulunya, rumah-rumah asli Rejang itu, walau papan lantainya sudah demikian mengkilat karena selalu di-pel, sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan alas lantainya berupa paran (tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua dan pilihan). Paran itu juga dianyam dengan tambahan ukiran sedemikian rupa.
Rumah-rumah itu memiliki plapon yang juga terbuat dari bahan kayu (papan) pilihan, sehingga di atasnya dimanfaatkan untuk tempat menjemur atau mengeringkan biji kopi. Menyimpan hasil perkebunan lainnya, seperti pisang, nangka dan buah-buahan lainnya.
Bangunan rumah asli orang Rejang memang sudah sedemikian maju dan itu menandakan pengetahuan orang Rejang terhadap design bangunan rumah sudah demikian tinggi. Karena, sebuah bangunan rumah mereka, sudah lengkap dengan ruang-ruangnya. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang bermusyawarah, kamar tidur, kamar gudang (tempat beras dan lainnya), dapur, kamar mandi (ruang kamar mandi), ruang menyimpanan berbagai hasil pertanian dan sebagainya. Ruangan-ruangan ini dipisahkan oleh dinding papan yang dibuat sedemikian rupa. Oleh karena itu, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut ruang-ruang atau kamar di dalam struktur rumah asli Rejang. Misalnya

brendo (beranda, teras rumah),
smigo (ruang utama yang letaknya paling depan sesudah bredo),
bilik (kamar tidur),
dopoa (dapur),
palai (ruang di atas plapon rumah),
ndea (tangga),
kemdan (jendela)
bang (pintu).

Untuk menyebut bilik (kamar tidur) biasanya ditambah dengan nama siapa yang sering tidur di kamar tersebut. Misalnya kamar tidur nenek maka disebut bilik sebei dan seterusnya. Dalam arsitektur orang Rejang sudah mengenal model-model daun jendela dan pintu. Untuk pintu utama, biasanya selain pintu lapisan pertama terbuat dari kayu. Kemudian pada lapisan kedua ada pintu yang terbuat dari kaca yang dibingkai dengan kayu. Sementara untuk pintu kedua (di dalam rumah) tidak demikian. Cukup dengan daun pintu terbuat dari papan. Melihat seni arsitek ‘ukir’ pada dinding, pintu, jendela dan dinding-dinding ruang rumah orang Rejang kemungkinan dipengaruhi oleh seni kaligrafi dalam agama Islam dan aliran naturalisme. Sebab, melihat dari lika-liku ukiran, simbol yang dilukis dan rangkaian-rangkaian ukirannya, memang demikian.

Secara khusus ragam hias rumah Rejang :
1.     Mengungkapkan makna simbolik yang ada dalam Ragam Hias;
2.     Mendeskripsikan komponen pada rumah tradisional Rejang seperti :
tiang,
tangga,
dinding,
ruang
atap;
3.     Mendeskripsikan tata cara dan upacara dalam pembuatan sebuah rumah tradisional Rejang.Data dan informasi ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi budaya, seni dan teknologi guna mentransformasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Sistem kepercayaan, sistem nilai, pengetahuan dan aturan, serta simbol yang dimiliki masyarakat Rejang mendasari konsepsi mengenai rumah tradisional, mulai dari aturan pembuatan, upacara, memilih bahan, penataan ruang sampai ke bentuk tiang; Pada Ragam Hias yang menggambarkan manusia sangat erat kaitannya dengan kepercayaan suku Rejang yang percaya akan kekuatan roh nenek moyang, dan bentuk mengacu pada gaya primitif yang lebih mementingkan kepentingan sakral;
Ragam Hias tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada rumah memperlihatkan adanya pengaruh budaya Minang dan tidak diterapkannya beberapa motif makhluk hidup pada rumah Muara Aman, disebabkan pengaruh konteks budaya dalam ruang waktu yang berbeda;  Motif pada rumah tradisional Rejang merupakan tanda yang mengandung makna simbolik dari adat istiadat Rejang.




Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About

BTemplates.com

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive