Kamis, 29 September 2016

PERAN ARSITEK DALAM MENGATASI KEPADATAN PENDUDUK

Tugas ke 2

NAMA                                    : FRISKA APRILIANI
KELAS                                   : 1TB03
NPM                                       : 22316924
JURUSAN                              : TEKNIK ARSITEKTUR

1. KEPADATAN PENDUDUK

Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus atau kontinu. Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.

      Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan menempati urutan keempat dalam daftar Negara dengan penduduk terbesar di dunia. Hal itu menyebabkan kependudukan menjadi sorotan banyak pihak di lingkungan Pemerintah, pengamat, akademisi, serta media massa. Salah satu masalah kependudukan adalah laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang ada. Akibatnya penduduk berbondong bondong mencari pekerjaan ke pusat kota. Apa itu pertumbuhan penduduk? Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian, dan migrasi.

       Migrasi yang meningkat pesat menimbulkan dampak dan permasalahan baru. Overload kota dapat menyebabkan kota menjadi kelebihan penduduk dan kurang terjaga kesehatannya karena keterbatasan fasilitas-fasilitas kesehatan sedangkan penduduknya tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal. Perencanaan kota tanpa  visi,  misi dan Pembangunan tidak  menggarap potensi unggulan. Pembangunan kota bersifat sporadis dan takluk pada kepentingan pemodal. Siapa saja boleh mendirikan bangunan di kota asal punya uang, tanpa  mengacu pada rencana umum tata ruang, rencana detail, atau rencana teknis yang telah dibuat oleh aparat pemerintah kota. Akibatnya, banyak ambisi yang mengorbankan gedung-gedung bersejarah demi pamrih ekonomistik. Tidak mengherankan jika kota-kota besar di negeri ini, baik yang berkategori metropolitan maupun megapolitan dipadati mal, supermal, department store, pusat-pusat belanja, apartemen, serta aneka bangunan dan fasilitas yang serba raksasa, tanpa ketersediaan ruang terbuka hijau yang memadai. Pada akhirnya, lahan untuk perumahan makin sulit didapat dan harganya juga mahal. Hal itu yang menyebabkan penduduk di kota sangat padat. Kita lihat banyak penduduk  yang  mendirikan bangunan tidak resmi, bahkan ada pula yang membuat  tempat tinggal sementara dari plastik atau dari karton di pinggir sungai atau di bawah kolong jembatan. 

       Model perencanaan kota seperti itu, sangat berbahaya bagi masa depan kota. Pembangunan yang serampangan, lambat laun membentuk kota mirip human zoo. Dimana kota yang seharusnya menjadi impian malah menjadi kota yang mengerikan dan menyengsarakan. Masyarakat yang seharusnya menikmati berbagai infrastruktur dan fasilitas di kota, malah mendapatkan yang sebaliknya. Ruang-ruang publik  jadi  sumpek, penghuninya tidak peduli  lingkungan dan  berpotensi menciptakan manusia-manusia temperamental, liar, serta intoleran. 

Foto : Kompasiana.com
       Keseluruhan gejala tersebut jadi satu indikasi nyata terbentuknya human zoo bila tidak segera direvisi. Kota-kota telah kehilangan apa yang disebut sebagai urban paradise atau surga perkotaan di antaranya berupa taman, lapangan olahraga, tempat bermain, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berbagai tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota yang terjadi saat ini membuat sebagian besar RTH dikonversi menjadi fasilitas perkotaan. Kota-kota di Indonesia sering kali tidak menempatkan RTH sebagai salah satu ruang penting yang harus ada dalam kota. Padahal RTH dalam suatu kota perlu memiliki  perencanaan dan perhatian yang khusus, karena memiliki berbagai fungsi yang tinggi bagi suatu kota seperti ekologis, ekonomi,  arsitektur  dan  sosial atau budaya. Ketersediaan RTH berperan dalam memasok O2, menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga), mereduksi beberapa zat pencemar udara seperti gas rumah kaca, membantu penyerapan air hujan, menjaga kesuburan tanah, membantu menghindari kebisingan, menciptakan kesejukan oleh rimbunnya dedaunan serta suasana kota yang lebih indah dan nyaman. 

        Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, disyaratkan luas RTH minimal 30% dari luas wilayah  (negara, provinsi, kota/kabupaten). Namun pada kenyataannya, hanya kurang lebih 10% hingga 20% dari keseluruhan luas perkotaan yang dapat dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau. Dapat kita lihat, bahwa daerah perkotaan telah menjadi daerah komersil  yang  setiap  jengkalnya dimanfaatkan  untuk  usaha  dan pembangunan. Alhasil, kota kerap tumbuh sebagai ruang tak bertata nilai, kering, dan kaku. Nilai-nilai budaya terpinggirkan. Kota perlahan tak lagi sanggup menampung manusia. Kota menjadi bergelimang kesengsaraan, tidak terkendali, miskin fasilitas dan utilitas kota, yang mengakibatkan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi warganya. 

      Untuk mencegah hal tersebut agar tidak terjadi, proses pembangunan kota harus berorientasi pada tindakan yang berlandaskan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Jika pembangunan tidak berlandaskan pada hal tersebut, maka pemerintah akan memberikan sanksi yang tegas. Sanksinya bukan hanya dikenakan kepada pelaku pembangunan, tetapi juga pemberi izin. Selain itu, diperlukan adanya bukti izin pembangunan  yang sah mulai  dari  tata ruang nasional, pulau, provinsi, kabupaten, sampai kota dan desa.

     Seorang perencana kota dituntut memiliki wawasan holistik, memahami arti pentingnya keanekaragaman hayati, konservasi warisan alam, warisan budaya dan dapat mengupayakan keterpaduan antara tata guna lahan dengan jaringan transportasi dan infrastruktur perkotaan. Disisi lain, pembangunan infrastruktur jangan  hanya  berpusat pada wilayah perkotaan namun di wilayah kecil lainnya, agar pembangunan di Indonesia merata sehingga angka migrasi dapat berkurang.

Upaya untuk mengatasi kepadatan penduduk
  1. Membangun sarana dan prasarana pendidikan yang jumlahnya sebanding dengan jumlah penduduk usia sekolah.
  2. Meningkatkan jumlah fasilitas sosial dan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dan poliklinik).
  3. Pembangunan gedung-gedung sekolah baru beserta fasilitasnya, penyelenggaraan sekolah terbuka, dan penyelenggaran beasiswa bagi siswa tak mampu dan berprestasi.
  4. Pembangunan perumahan-perumahan murah baik rumah sederhana, maupun rumah sangat sederhana, untuk mengatasi ketersediaan perumahaan yang kurang.
  5. Penyelenggaraan hutan lindung, reboisasi, penghijauan serta melarang pertanian sistem ladang berpindah untuk mengatasi kerusakan hutan.
  6. Pembangunan industri-industri baru, pusat-pusat perdagangan dan pariwisata sebagai upaya mengatasi kurangnya kesempatan kerja.
2. PRANATA SOSIAL

Menurut Dr. Koentjaraningrat, pranata sosial memiliki 8 macam tujuan, yaitu :
  1. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan sosial dan kekerabatan, yaitu yang disebut kinship atau domestic institutions. Contohnya perkawinan, tolong-menolong antar kerabat, pengasuhan anak, sopan santun antar kerabat, sistem istilah kekerabatan, poligami, percerian, dan sebagainya.
  2. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan harta benda atau economic institutions. Contohnya pertanian, perikanan, koperasi dan macam-macam perdagangan.
  3. Pranata yang bertujan memenuhi kebutuhan pengetahuan dan pendidikan manusia atau educational institutions. Contohnya pendidikan masyrakat, TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, tempat-tempat kursus, dan tempat-tempat pelatihan-pelatihannya.
  4. Pranata yang betujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia atau scientific institutions. Contohnya sebagai macam metode ilmiah dan pendidikan ilmiah lainnya.
  5. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi atau aesthetic and recreational institutions. Contohnya seni suara, seni rupa, seni gerak, seni lukis, dan seni sastra.
  6. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau religus institutions. Contohnya doa.
  7. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok atau bernegara atau political institutions. Contohnya pemerintahan, demokrasi, kehakiman kepoisian, dan sebagainya.
  8. Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmani manusia atau cosmetic institutions. Contohnya pemeliharaan kecantikan, kesehatan, dan kedokteran.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About

BTemplates.com

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive